Oleh : Yuniata Anjani*
The development of the Pesantren curriculum has never been separated from the teachings of Ahlussunah Wal Jamaah or often called ASWAJA. Aswaja is generally defined as a group that is always commited to following the sunnah of the Prophet SAW and the tariqah of his companions in matters of faith, syar’iyah and reality (mysticism and morality ).Sejak awal berdirinya pesantren, ajaran Aswaja memang sudah menjadi identitas kepesantrenan dari generasi ke generasi. Aswaja juga diajarkan para kyai sebagai patokan utama dalam kurikulum pesantren. Salah satu kurikulum pesantren yang sangat lekat dengan tradisi pesantren adalah pembelajaran kitab kuning yang seakan tak pernah lapuk ditelan zaman. Pembelajaran kitab-kitab tersebut dijadikan rujukan paling mendasar dalam penyelenggaraan kurikulum pesantren. Mentradisikan shalat terawih 20 rakaat ditambah witir, sholawatan, ziarah kubur, mendoakan orang sudah meninggal, tahlilan, berjanji, istighosahan adalah ajaran-ajaran Aswaja yang didakwahkan oleh para wali dan ulama terdahulu di negri ini.
Baca Juga :
Kultur Aswaja terus dilestarikan melalui kurikulum pesantren yang difungsikan sebagai wujud
apresiasi untuk para pendahulu yang tak kenal lelah menyebarkan agama Islam, dan terus menyatukan NKRI dari kemajemukan demi terhindar dari perbedaan kepentingan. Mereka yang berbeda-beda dalam kepentingan dan mengarah pada konflik antar kelompok, telah berhasil menyatu-padukan diri dengan bersandar pada pilar pesantren. Dalam peraturan
mentri agama No.13 tahun 2014 pendidikan keagamaan Islam pasal 4 menyebutkan bahwa “pesantren wajib menjunjung tinggi dan mengembangkan nilai-nilai Pancasila, undang-undang dasar 1945 Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bhineka Tunggal Ika, keadilan, toleransi, kemanusian, keikhlasan, kebersamaan, dan nilai-nilai luhur lainnya.”
Baca Juga :
Untuk itu selain berpegang dengan Aswaja pesantren juga dituntut untuk memberikan pembelajaran tentang arti penting kebangsaan, sehingga menumbuhkan tekad para santri untuk berkehidupan kebangsaan yang bebas,, merdeka, bersatu, cinta tanah air dan bangsa, sikap demokrasi, dan kesetiakawanan sosial. Sebab dengan itu semua bisa menjadi tingkatan keimanan seseorang seperti halnya tertuang pada jargon “Hubbul Wathon Minal Iman” yakni cinta tanah air sebagian dari iman. Pondok pesantren Assalafie Babakan Ciwaringin Cirebon misalnya, lembaga pendidikan yang memadukan pembelajaran kurikulum pelajaran agama dan pelajaran umum yang mampu menghimpun santri dari berbagai daerah di Indonesia. Dengan menganut salah satu prinsip dari ajaran Aswaja yaitu Tawazzun yang berarti keseimbangan, prinsip ini dilakukan dengan tujuan agar terjadi keseimbangan antara keduanya.
Baca Juga :
Disinilah pesantren berperan sebagai “Center Of Excellence” atau pusat keunggulan. Karena pesantren memiliki sesuatu yang berbeda, yaitu penekanan pada pendidikan agama dan moralitas agar para santri benar-benar memiliki wawasan yang aman dari pemikiran-pemikiran radikal terhadap kepentingan NKRI. Kini pesantren di nusantara telah membuktikan bahwa pesantren telah dinobatkan sebagai pilar masa depan yang tak hanya bergelut dengan kitab kuningnya yang khas pesantren, namun memadukan ilmu-ilmu umum, sosial, kenegaraan, dan budaya. Dengan diberlakukannya kurikulum pesantren yang Ahlusunnah Wal Jamaah, para santri diharapkan mampu mengangkat citra, kualitas dan gairah baru untuk pesantren dalam mengawal kemajuan NKRI sebagai pilar masa depan dengan pedoman utamanya yaitu penerapan nilai-nilai aswaja.
Penulis adalah alumni Pesantren Assalafiat I, mahasiswi IAIN Syekh Nurjati Cirebon
Pingback: Perspektif Santri Dalam Menyikapi Derasnya Budaya Asing Yang Masuk Ke Tanah Air – Assalafie Babakan