Pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, mengakhiri masa penjajahan yang panjang dari berbagai bangsa asing. Momen ini menjadi tonggak sejarah yang sangat penting, bukan hanya bagi Indonesia tetapi juga bagi bangsa-bangsa lain yang terjajah. Jika kita menelusuri sejarah Islam, ada kemiripan antara peristiwa ini dengan Fathu Makkah (Pembebasan Mekkah) yang terjadi pada tahun 630 M.
Fathu Makkah adalah peristiwa ketika Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya berhasil merebut kembali kota Mekkah tanpa pertumpahan darah, setelah bertahun-tahun menghadapi perlawanan dan penganiayaan dari kaum Quraisy. Dalam peristiwa ini, Nabi Muhammad SAW menunjukkan kearifan dan kebesaran hati dengan memberikan amnesti kepada penduduk Mekkah, termasuk kepada mereka yang sebelumnya memusuhinya. Pembebasan ini tidak hanya menandai kemenangan fisik, tetapi juga kemenangan spiritual dan moral yang membawa Islam ke era baru.
Begitu pula dengan kemerdekaan Indonesia. Setelah ratusan tahun mengalami penjajahan, akhirnya para pejuang kemerdekaan Indonesia berhasil memproklamasikan kemerdekaan tanpa melibatkan pertempuran besar pada hari itu. Proklamasi yang dibacakan oleh Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta, bukan hanya menandai berakhirnya penjajahan fisik, tetapi juga memulai era baru bagi bangsa Indonesia untuk membangun negara berdasarkan nilai-nilai yang merdeka, adil, dan makmur.
Sama seperti Fathu Makkah, kemerdekaan Indonesia diwarnai dengan semangat persatuan dan kesatuan. Setelah proklamasi, para pemimpin bangsa tidak menyimpan dendam terhadap mereka yang sebelumnya berada di pihak penjajah. Sebaliknya, mereka fokus pada rekonsiliasi dan pembangunan bangsa. Ini adalah bentuk kearifan dan kebesaran hati yang sama dengan yang ditunjukkan oleh Nabi Muhammad SAW ketika membebaskan Mekkah.
Selain itu, kemerdekaan Indonesia juga diiringi dengan semangat jihad dalam arti perjuangan yang luas, bukan hanya dalam bentuk fisik tetapi juga dalam bentuk intelektual dan spiritual. Para pemimpin bangsa dan pejuang kemerdekaan menyadari bahwa untuk mencapai kemerdekaan sejati, mereka harus membebaskan diri dari berbagai bentuk penjajahan, baik yang nyata maupun yang tidak terlihat, seperti kebodohan, kemiskinan, dan ketidakadilan.
Selain itu, peran santri juga tercermin dalam kontribusi mereka dalam bidang pendidikan dan pemikiran. Banyak pesantren yang menjadi pusat penggemblengan mental dan intelektual para pejuang kemerdekaan. Santri-santri dididik untuk tidak hanya menguasai ilmu agama, tetapi juga untuk peka terhadap isu-isu sosial dan politik. Pesantren menjadi tempat di mana semangat kebangsaan dan cinta tanah air dipupuk, dengan landasan nilai-nilai keislaman yang kuat.
Pada masa persiapan kemerdekaan, para santri juga terlibat dalam penyusunan Piagam Jakarta, yang menjadi cikal bakal Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Mereka turut serta dalam perumusan dasar-dasar negara yang tidak hanya berlandaskan pada nasionalisme, tetapi juga pada nilai-nilai agama yang universal.
Dengan demikian, peran santri dalam kemerdekaan Indonesia tidak bisa dipandang sebelah mata. Mereka adalah bagian integral dari perjuangan bangsa, yang menggabungkan semangat keagamaan dengan nasionalisme. Kemerdekaan yang kita nikmati hari ini tidak lepas dari perjuangan para santri yang dengan tulus mengorbankan jiwa raga demi tegaknya negara yang merdeka dan berdaulat.
Dalam suasana kemerdekaan ini, penting bagi kita untuk mengingat dan menghormati jasa-jasa para santri. Mereka bukan hanya pejuang di medan perang, tetapi juga pahlawan dalam menanamkan semangat kemerdekaan yang berlandaskan pada nilai-nilai keislaman yang rahmatan lil ‘alamin, membawa rahmat bagi seluruh alam.
“Cinta tanah air adalah sebagian dari iman”, merupakan salah satu jargon monumental yang dikemukakan oleh Hadlrotus Syaikh KH. Hasyim As’ari dalam membakar semangat bela negara dan nasionalisme kebangsaan. Meskipun penggalan kalimat singkat tersebut bukan termasuk hadis, namun secara esensial tidak jauh beda dengan hadis Rasulullah Saw yang menjelaskan tentang ungkapan kecintaannya terhadap kota suci Makkah. Sebagimana penuturan dari sahabat Ibnu Abbas Ra yang diriwayatkan dari sahabat Ibnu Hibban Ra:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا أَطْيَبَكِ مِنْ بَلْدَةٍ وَأَحَبَّكِ إِلَيَّ، وَلَوْلَا أَنَّ قَوْمِي أَخْرَجُونِي مِنْكِ، مَا سَكَنْتُ غَيْرَكِ
“Dari sahabat Ibnu Abbas berkata, Rasulullah Saw bersabda; Alangkah baiknya engkau sebagai sebuah negeri, dan engkau merupakan negeri yang paling aku cintai. Seandainya kauku tidak mengusirku dari engkau, niscaya aku tidak tinggal di selainmu,” (HR. Ibnu Hibban).[1]
Dengan penerapannya yang disesuaikan dengan konteks kebutuhan saat ini, semangat bela negara dapat mengakhiri episode berdarah umat manusia dan menciptakan dialog kehidupan yang rukun dan damai. Bahkan sangat diperlukan untuk memperkuat sendi-sendi kenegaraan dari berbagai paham radikalisme, ekstrimisme, dan semacamnya yang merongrong kebhinnekaan bangsa ini.
Dalam konteks kekinian, aksi nyata dalam semangat bela negara dapat diaplikasikan dengan menjalankan kewajiban sebagai warga negara sesuai dengan kondisi dan kemampuan masing-masing individu masyarakat. Karena dengan begitu, implementasi nyata semangat bela negara dan nasionalisme tidak hanya terbatas pada perlindungan negara, melainkan menjadi sebuah usaha ketahanan, kekuatan, dan kemajuan di berbagai aspek kehidupan.
Dalam konteks inilah, kemerdekaan Indonesia dapat dipandang sebagai sebuah Fathu Makkah versi Indonesia. Sebuah pembebasan yang bukan hanya mengakhiri penjajahan, tetapi juga membuka jalan bagi pembentukan sebuah bangsa yang berdaulat, adil, dan makmur.
Dengan demikian, momen 17 Agustus bukan hanya perayaan fisik, tetapi juga refleksi spiritual tentang arti sejati kemerdekaan. Sebuah kemenangan yang dicapai bukan dengan kekerasan, tetapi dengan kebijaksanaan, kesabaran, dan persatuan, seperti yang ditunjukkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam peristiwa Fathu Makkah.
4o