Oleh : KH. Yasyif Maemun Syaerozie
Radikalisme merupakan faham yang bertolak belakang dengan keumuman orang. Faham ini cenderung mendoktrin penganutnya untuk berbuat anarkis dan cenderung melihat berbagai objek hanya dari satu sisi saja, yaitu pada sisi negatif dari objek-objek tersebut. Cikal bakal atau bibit radikalisme sudah muncul sejak zaman Rasulullah SAW. Pada saat itu kaum musyrikun dan kaum munafiqun mengklaim bahwa Rasulullah SAW berlaku tidak adil dalam pembagian ghonimah (harta rampasan perang) yang diperoleh oleh kaum muslimin setelah menang dalam peperangan.
Sekarang ini, banyak dari kalangan radikal yang muncul dengan mengatasnamakan agama Islam, mengaku sebagai seorang muslim akan tetapi sering melakukan tindakan tidak manusiawi, mencabik-cabik nilai kemanusiaan dengan leluasa dan seenaknya, sesuai apa yang mereka inginkan.
Baca Juga
Objek sasaran dari kalangan radikal ini sangat luas, mereka yang non muslim dan kaum muslim. Parahnya mereka senang menghukumi TBC (Tahayul, Bid’ah, dan Churafat) kepada sesama umat Islam yang tidak sefaham dengannya. Kalangan radikal ini berdalih bahwa perbuatan yang mereka lakukan adalah sebagai bentuk Jihad yang merupakan salah satu ajaran agama Islam. Na’udzubillah, sehingga saat ini kita mengenal ada istilah kelompok Islam radikal atau kaum Bumi Datar. Faham radikal ini sangat tidak dibenarkan dalam Islam, jauh sekali dari konsep Islam itu sendiri yang hakikatnya sebagai agama “rahmatan lil ‘alamin” (rahmat bagi alam semesta). Agama
Islam mengarahkan para penganutnya untuk berdakwah dengan cara yang santun tanpa paksaan
sedikitpun, sehingga kelak orang-orang yang masuk Islam akan dengan sangat sukarela menjalankan ajaran Islam serta menghayatinya.
Adapun konsep jihad yang dimaksud dalam ajaran Islam, adalah jihad melawan orang-orang kafir yang secara jelas berbuat dzolim terhadap kaum muslimin. Penerapan jihad lebih disempitkan pada menyikapi arogansi dan kesewenang-wenangan non muslim terhadap kita, tentunya setelah mereka menolak berdamai dan menolak hidup rukun, dalam konteks ini, jihad fi sabilillah harus
ditegakkan. Di luar konteks tadi, jika ada kelompok-kelompok yang berbuat tindak kekerasan, radikal serta kriminal yang mengatasnamakan Islam, maka para pelakunya – dalam pandangan fikih Islam darahnya halal. Karena hakikatnya mereka telah melakukan penistaan/pelecehan terhadap agama Islam. Dan hukum menistakan agama adalah haram, maka kaum muslimin wajib untuk melawan orang-orang yang demikian ini dalam ilmu fikih kita mengenal istilah Bughot yaitu kelompok pemberontak yang melawan terhadap pemerintah yang sah. Dalam keterangan hadits Nabi dijelaskan bahwa “Sulthon atau pemerintah merupakan payung Allah Swt bagi orang-orang yang terdzalimi di muka bumi ini”. Allah SWT memberikan jaminan kepada orang-orang yang memulyakan, menghormati serta patuh dan mengikuti apa yang telah ditetapkan oleh pemerintah yang sah, maka Allah SWT akan memulyakan orang tersebut kelak di akhirat. Namun dengan catatan bahwa sulthon atau pemerintah tersebut tidak mengajak berbuat maksiat dan kemunkaran.
Perlu difahami bersama, bentuk pemerintahan yang berasaskan syariat Islam dengan pemerintahan yang bukan berasaskan syariat Islam tidaklah berbeda dan tidak patut menjadi sebuah permasalahan. Apapun bentuk pemerintahannya, yang terpenting adalah bagaimana Islam dan penganutnya bisa dijaga hak dan kewajibannya, bisa merasakan keadilan dan kesejahteraan. Salah satu cirinya adalah para pemeluk Islam leluasa dalam melaksanakan
ibadah sesuai syariat Islam. Hal ini sesuai dengan konsep rahmatan lil ‘alamin dan merupakan wujud baldatun thoyyibatun wa rabbun ghofur. Negara Indonesia merupakan negara berpenduduk
mayoritas muslim terbanyak di dunia. Di dalamnya terdapat berbagai organisasi sosial kemasyarakatan dan keagamaan. Salah satunya adalah jamiyah Nahdlatul Ulama yang di dalamnya memiliki ciri khas tersendiri dalam model pendidikan. Yaitu sistem pendidikan pondok
pesantren warisan dari Wali Songo para tokoh penyebar Islam di bumi nusantara.
Baca Juga
Eksistensi pesantren-pesantren di bawah payung Nahdlatul Ulama ini tengah dibikin kalut oleh sekelompok orang-orang yang berfaham radikalisme yang mengatasnamakan dirinya sebagai
orang pesantren. Padahal sejatinya adalah pesantren karbitan, yang hanya dijadikan oleh mereka sebagai wadah doktrinasi dan kaderisasi gerakan radikal. Dampaknya, pesantren dikecam sebagai pusat gerakan radikalisme, pesantren digeneralisir sebagai penyampaian kader intoleran.
Jika ditelaah lebih dalam, isu tersebut sangatlah tidak benar. Faktanya faham radikalisme yang
bekedok pesantren itu merupakan imitasi dari pesantren warisan Wali Songo. Hal ini terjadi
disebabkan adanya faktor eksternal yang telah berbaur dengan pesantren. Bukan murni ajaran
pesantren. Salah satu penyebabnya adalah faktor pertukaran pelajar / mahasiswa Indonesia ke luar negeri ataupun sebaliknya, yang mana lembaga pendidikan di luar negerinya berfaham radikal.
Faham Islam radikal di Indonesia berawal dari mahasiswa yang menimba ilmu di lembaga pendidikan agama berfaham radikal di luar negeri, khususnya di Timur Tengah. Di mana mahasiswa tersebut tidak pernah mengenyam pendidikan agama dari guru-guru dan kyai-kyai Nusantara terlebih dahulu, akhirnya ia terkontaminasi oleh pemikiran radikal dari luar negeri. Ia pun membawa faham dan ajaran radikalisme serta menyebarkan faham tersebut di bumi Nusantara. Di sisi lain, pesantren-pesantren di Indonesia warisan Wali Songo, yaitu pesantren di bawah naungan Nahdlatul Ulama selalu mendidik para santrinya untuk mengedepankan akhlakul karimah kepada sesama. Terlebih kepada kyai dan guru. Seorang santri dituntut untuk bisa menerapkan konsep Sami’na wa atho’na atau dalam kata lain harus tunduk dan patuh kepada para kyai dan guru. Apa yang difatwakan dan telah diterangkan oleh Kyai dan guru, santri harus berusaha memegang dawuh tersebut. Sekalipun apa yang dikatakan kyai dan gurunya itu kurang tepat, santri tetap harus berusaha menjalankannya. Sekalipun ia tidak sependapat dengan apa yang dikatakan oleh kyai dan gurunya, paling tidak ia tidak sampai membangkang kepada kyai dan gurunya. Sebab faktor yang salah inilah yang menjadi cikal bakal tersebarnya faham radikalisme di Indonesia.
Baca Juga
Sebagai penutup, saya berpesan kepada para santri untuk selalu istiqomah dalam melestarikan dan mengembangkan ajaran Ahlussunnah wal jama’ah khususnya dalam segi akhlakul karimah, seperti tunduk dan patuh kepada kyai dan guru mengasihi kepada yang lebih muda dan menghormati kepada yang lebih tua. Sudah saatnya kita kembali pada ajaran Rasulullah SAW untuk menyelamatkan jiwa dari faham-faham yang tidak benar seperti faham radikalisme. Kita harus selalu bisa menerapkan konsep Sami’na wa atho’na terhadap kyai dan guru. Gunakan kemajuan zaman khususnya di bidang teknologi informasi sebaik mungkin. Media sosial yang ada cukup sebagai penambah wawasan kita, tidak perlu menggunakannya untuk hal-hal yang
tidak bermanfaat. Lebih-lebih dijadikan sebagai dalil untuk menentang fatwa / pendapat kyai dan
guru kita. Sebab, ilmu itu bukan hanya pengetahuan yang luas saja. Hubungan batin dengan kyai dan guru sangat lah penting daripada pengetahuan pribadi semata. Sekalipun kita berbeda
pendapat dan tidak bisa sampai atho’na (patuh), maka jangan sampai jaddalna (mendebat) para
kyai dan guru. Hakikat ilmu adalah kunci keselamatan di dunia dan akhirat. Keselamatan seseorang tidak hanya diukur dari kesesuaian dengan ilmu saja. Akan tetapi harus ada kontak batin yang lebih tulus antara santri dengan kyai atau gurunya. Karena sejatinya guru adalah orang yang dapat menyelamatkan kita di dunia dan akhirat. Ilmu yang banyak dan mumpuni tidak ada artinya ketika berani melawan kepada kyai dan guru yang telah mengajarkan kita. Kesimpulannya, peran pondok pesantren dalam membendung faham radikalisme di Indonesia sangatlah luar biasa. Indonesia tanpa pesantren tidak akan ada kedamaian dan kesejahteraan. Bahkan mungkin naudzubillah akan seperti beberapa negara di Timur Tengah yang berkecamuk perang saudara.
Pengasuh Pondok Pesantren Putra Putri Assalafie Babakan Ciwaringin Cirebon