Pesantren Dalam Gerakan Deradikalisasi Agama

Oleh: KH. Abdul Muiz Syaerozie, M.H.I

Tujuh puluh lima tahun sudah Indonesia merdeka. Selama ini pula pesantren dan kyai NU begitu setia mengawal bangsa dan negara.

            Bukan tanpa alasan pesantren dan Kyai-Kyai sangat bersemangat menjaga keutuhan bangsa. Pertama, karena proses perjuangan Indonesia hingga menjadi negara yang merdeka tak lepas dari peran pesantren dan Kyai-Kyai NU.

Kedua, dalam pandangan pesantren dan Kyai-Kyai, menjaga keutuhan bangsa merupakan bagian dari sistem keyakinan umat Islam. Pesantren dan NU memiliki doktrin teologis Hubbul Whaton minal iman.

            Dari alasan ini, setidaknya pada pundak pesantren dan Kyai-Kyai NU terpanggul beban berat kewajiban menjaga bangsa dan negara dari berbagai hal yang dapat mengancam keutuhan bangsa. Salah satu ancaman yang hingga kini masih berlanjut bahkan makin merajalela adalah ancaman radikalisme berbasis agama.

Kita tahu, radikalisme yang mewujud dalam gerakan teror bermuara pada kesalahan dalam memahami agama. Dan ini selalu menjadi momok yang mengancam keutuhan bangsa dan negara Indonesia.

            Kita pun tahu, Pasca peristiwa yang meluluhlantakkan dua gedung kembar World Trade Center (WTC) dan Pentagon di Amerika Serikat, fenomena dan wacana terorisme – hingga kini – masih menjadi isu hangat dalam kancah global maupun nasional. Terorirsme, pasca peristiwa sembilan november 2001, menjadi isu yang selalu digunjingkan. Bahkan semakin menjadi populer ketika bom Bali I dan bom Bali II terjadi.

            Popularitas ”terorisme” sebagai sebuah peristiwa dan wacana  yang muncul kepermukaan dapat di tangkap dari gelagat berbagai kajian ilmiah yang sering mendudukkan ”terorisme” sebagai objek kajian. Seperti beberapa tesis yang dibangun para tokoh pemikir internasional diantaranya Samuel Huntington, Vandana Shiva, Fukuyama, dan lain-lain. Mereka semua secara spesifik mengamati dan memahami fenomena terorisme dari berbagai sudut pandang yang berbeda.

            Popularitas ”terorisme” pasca peristiwa 09 november 2001 juga dapat ditangkap dari sikap dan reaksi berbagai kalangan baik indvidu, organisasi-organisasi masyarakat, instansi-instasi partai politik dan negara. Semua hampir menghembuskan nada seirama, mengecam, mengutuk, dan menuding terorisme sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.

Amerika Serikat yang sangat berkepentingan dengan isu terorisme misalnya, begitu tampak bersemangat dalam mengkampanyekan anti terorisme di berbagai negara. Bahkan negara super power ini berani mengeluarkan dana yang besar untuk melancarkan agenda anti terorisme. Begitu pula dengan negara-negara di Eropa, di Asia dan di benua-benua lain juga gencar melakukan kampanye anti terorisme.

            Begitupula negara-negara yang tergabung dalam PBB. Mereka melalui United Nation Terrorism Prevention Branch memutuskan perang melawan terorisme dan melakukan kajian secara mendalam dari berbagai aspek, diantaranya, aspek politik dan pemerintahan (Politic and Governence) aspek ekonomi dan sosial (economic and social) aspek psikologi, komunikasi, pendidikan (psychology, communication, education), peradilan dan hukum (judicial and law), aspek kepolisian dan sistem pemasyarakatan (police and prison system), aspek intelijen (intelligent), aspek militer (military)dan aspek imigrasi (immigration).

            Di Indonesia pun respon terhadap fenomena terorisme begitu kuat. Dalam hal menanggulangi aksi terorisme, pemerintah Indonesia memberlakukan Undang-undang nomor 15/2003 tentang pemeberlakuan Perpu Nomor 1/2002 tentang pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2003 tentang pemberlakuan Perpu Nomor 2/2002 tentang pemeberlakuan Perpu Nomor 1/2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme, pada peristiwa bom Bali tanggal 12 Oktober 2002.

            Pemerintah Indonesia juga telah menetapkan suatu kerangka dasar yang menjadi acuan dalam merumuskan kebijakan dan langkah-langkah oprasional pemberantasan terorisme. Beberapa kerangka dasar yang dirumuskan pemerintah Indonesia sebagai acuan pemeberantasan tindak pidana terorisme adalah sebagai berikut : pertama, perang melawan terorisme dilakukan dalam kerangka hukum dan berdiri diatas aturan hukum yang ada. Artinya, Setiap langkah yang diambil tidak keluar dari aturan hukum yang ada.

            Kedua, mengingat terorisme merupakan fenomena global maka kerjasama internasional merupakan suatu keharusan. kerjasama intelijen, kerjasama kepolisian, bantuan hukum, kerjasama teknis yang lain adalah konsekuensi dari kerjasama internasional melawan terorisme.

            Ketiga, dalam memerangi terorisme, pemerintah tidak berprasangka dan tidak mengarahkan oprasinya kepada kelompok tertentu, apakah itu kelompok etnik, agama, atau kepentingan. Semua warga negara diperlakukan sama dihadapan hukum. Keempat, ancaman terorisme bersifat lintas sektoral dan lintas negara sehingga upaya penangulangannya harus bersifat lintas sektoral dan lintas negara.

            Lalu, mengapa terorisme muncul? Apa faktor yang melatar belakangi aksi teror ? Dan bagaimana pesantren dan Kyai-Kyai NU menangguangi aksi terorisme yang mengancam keutuhan bangsa ?

Faktor-Faktor Pembentuk Aksi Terorisme.

            Ada banyak faktor yang mendukung tejadinya aksi teror yang dilakukan oleh sekelompok orang diantaranya adalah faktor agama. Agama dalam hal ini seringkali digunakkan sebagai alat legitimasi untuk melakukan aksi-aksi teror yang merugikan banyak orang.

            Dalam Islam misalnya, secara jujur diakui bahwa, dalam ayat-ayat Al Qu’ran dan hadis-hadis nabi sebagai sumber ajaran Islam terdapat kata-kata atau istilah-istilah yang memungkinkan – jika dibaca secara tekstual – akan melahirkan tafsir-tafsir yang membenarkan atas aksi kekerasan. Misalnya kata ”jihad” dan ”qital”. Kata ini seringkali digunakan sebagai alat legitimasi dalam melakukan aksi kekerasan. 

            Kaitannya dengan hal ini, teoritisi terkenal; Samuel Huntington mengistilahkannya sebagai faktor inhern dalam Islam.  Menurut Huntington, terorisme merupakan penanda terjadinya pergeseran panorama politik global dari perang dingin menjadi the age of muslim wars (peperangan antar sesama muslim dan dengan non muslim). Pergeseran ini menurut Huntington disebabkan oleh dua hal, diantaranya, doktrin inheren dalam Islam yang dapat dijadikan legitimasi damai maupun perang.

            Senada dengan Huntington, Fukuyama dalam tesisnya the end of Hsitory mengatakan bahwa Islam garis keras yang melakukan terorisme merupakan the latest obstacle bagi kemenangan historis demokrasi liberal Barat di jagat raya ini. Kemenangan pertarungan antara demokrasi liberal dan Islam garis keras menurutnya tergantung pada dua hal, yakni keberhasilan oprasi militer dalam menghancurkan basis-basis Islam garis keras, dan kemenangan sayap Islam Liberal dalam pertarungannya dengan ideology-ideology keislaman lainnya. Fukuyama menggambarkan sayap Islam garis keras sebagai kelompok yang melakukan aksi kekerasan atas semangat agama. 

            Teorisasi yang dibangun Profesor Samuel Huntington, memang sangat lemah dan menuai perdebatan panjang. Pasalnya, terorisme seolah-olah hanya dilakukan oleh kelompok-kelompok Islam. Padahal, sebagaimana dikatakan Jurgens Meyer, terorisme juga terjadi dalam agama-agama lain. Karena dalam agama terdapat doktrin-doktrin yang secara potensial dapat menimbulkan aksi teror.

            Begitu pula menurut Gus Dur misalnya, yang menilai Huntington menggunakan ukuran moralitas ganda dalam konsepnya itu.  Menurut KH. Abdurrahman Wahid, Clash of Civilization yang digagas Huntington terlalu mementingkan perbedaan antara pohon, yaitu antara ”pohon Barat” dan ”pohon Islam” dan melupakan ”hutan” dari pohon yang dimaksud secara menyeluruh. Artinya Huntington terlalu gegabah dalam melakukan kategorisasi sesuatu sebagai produk peradaban Barat atau Islam. Padahal menurut Gus Dur, posisi ditengah (baca : Aqidah Ahlussunnah wal jama’ah yang mengajarkan tentang hidup toleran, tawassututh, tawazzun dan tasammukh) inilah yang kini menjadi posisi mayoritas kaum muslim diseluruh dunia. Peradaban Barat dan peradaban Islam diposisikan dalam dua titik ekstrim.

            Menurut Gus Dur, posisi ditengah-tengah – tidak terjebak pada fundamentalisme Islam dan tidak terjebak pada liberalime Barat- inilah yang justru yang paling banyak dicenderungi kaum muslim di dunia. Terutama di Indonesia yang berbasis di NU dan pesantren. Inilah kondisi yang tidak dipahami Samuel Huntington.

            Namun demikian, ajaran-ajaran Islam yang dijadikan sebagai alat legitimasi untuk melakukan tindak kekerasan memang ada. Seperti kata yang telah disebutkan diatas; Jihad. Kata ”jihad” ini, masih banyak diartikan oleh kaum muslim dengan makna konvensional. Walaupun tidak semua pemeluk Islam yang memahami secara tekstual mematrialkan atau mengamalkan tafsirnya dengan aksi teror atau aksi-aksi kekerasan.

Pesantren dalam Menanggulangi Radikalisme Agama

            Sebagai lembaga yang konsisten dalam tafaqquh fi aldien, pesantren memiliki peran besar dalam memenanggulangi radikalisme berbasis agama.

            Sejak dulu pesantren di kenal sebagai lembaga pendidikan agama yang lebih mengutamakan pembentukan karakter anak didiknya ketimbang sekedar membentuk manusia berilmu.

            Di pesantren, selain diajarkan tentang ilmu-ilmu keislaman, para santri juga dididik untuk menjadi manusia yang berakhlaqul karimah. Karenanya, dipesantren diajarkan tentang pentingnya menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan, keamanan dan ketentraman masyarakat. Ajaran akhlak tersebut sangat berpengaruh pada pembentukan prilaku keseharian para santri.

            Selain itu, pesantren juga mengajarkan tentang kecintaan pada tanah airnya. Hubbul Whaton minal Iman. Dalam pandangan pesantren, formalitas Negara berbasis atau berideologi agama tidaklah penting. Yang terpenting adalah kehadiran Negara yang dapat menjamin warganya untuk bebas beribadah. Jadi, selagi negara dalam bentuk apapun, mampu memberikan jaminan kepada umat Islam untuk beribadah, maka setiap muslim di wajibkan untuk menjaga keutuhan bangsa dan sekaligus di wajibkan untuk mencintai negaranya.

            Dalam konteks Indonesia dengan empat pilarnya, yakni Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 45, pesantren meyakininya sebagai bentuk Negara yang paling ideal. Sebab, Indonesia adalah bangsa yang di dalamnya terdapat berbagai suku, bahasa dan agama yang berbeda. Dan yang terpenting, dalam keyakinan masyarakat pesantren, Indonesia dengan empat pilarnya itu, secara faktual dapat menjamin umat islam untuk beribadah.

*Ketua Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Kab. Cirebon, Dewan Keluarga Pondok Pesantren Assalafie  Babakan Ciwaringin Cirebon.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *