Oleh : Ibnu Muzakki, Lc*
Bermula dari klaim-klaim negatif Eropa dan Barat terhadap isu radikalisme maka tak ayal menjadikan Islam sebagai target yang terkesan tersudutkan dari berbagai macam dimensinya.
Label-label negatif yang disematkan pada Islam pun semakin liar dan merajalela, mereka menyebutnya dengan islam kanan, Islam fundamentalis, kelompok garis keras faktor-faktor yang ikut andil dalam mempopulerkan klaim-klaim negatif inipun beragam: Diantara faktor yang sering dibicarakan adalah fenomena hiostoris-historis di dukung dengan peradaban global akibat kekuatan media yang memiliki andil besar dalam membentuk opini publik contoh sederhana yang sering digambarkan oleh media-media seluler untuk menjustifikasi anggapan-anggapan nihil mereka adanya praktek-praktek kekerasan yang dilakukan oleh sekumpulan “Islam” dengan membawa simbol-simbol ajaran dalam agama Islam.
Kesimpulan media Barat dalam menggeneralisasi menyebabkan mereka tidak mampu memandang fenomena historisumat Islam secara objektif.
Pengertian Radikalisme
Menurut prof.Dr. Nasution. “Radikalisme adalah gerakan yang berpandangan kolot dan
sering menggunakan kekerasan dalam mengajarkan ajaran”
Dari definisi saja sudah bisa ditarik kesimpulan dasar yaitu, kekerasan dan kaku (jumud) dalam mengamalkan ajaran.
Dua poin diatas sangat berlawanan dengan ajaran atau nama dari Islam itu sendiri. Islam yang secara etimologi memiliki arti kedamaian atau ketentraman. Jelas tidak bisa disandingkan dengan label-label yang bertentangan dengan makna dasar islam tadi.
Jika ditelaah lebih dalam lagi Islam adalah seperangkat aturan yang bersumber dari ilahi untuk menetapkan kedamaian atau kebahagiaan umat manusia itu sendiri. Hal ini tertuang dalam firmah Allah SWT :
وما أرسلنك الا رحمة للعا لمين
“Dan juga pesan-pesan kenabianpun sangat erat kaitanya dengan penyebaran perdamaian abadi keadilan sosial”.
يحمل هذا العلم من كل خلف عدوله بنفو ن عنه تخريف الغالين وانتحال المبطلين وتأويل الجاهلين” .
“ tongkat estafet agama Islam akan dibawa oleh generasi-generasi yang mumpuni di tiap masanya. Generasi-generasi inilah yang akan menjaga Islam dari distorsi-distorsi makna islam yang hakiki doqma-doqma negatif keagamaan dan spekulasi jahat keagamaan” ( HR. Ahmad)
Faktor-faktor radikalisme-
Ada beberapa alasan yang erat kaitannya dengan penyebaran faham-faham radikal dalam beragama.
1. Kedangkalan berfikir dalam mempelajari teks-teks keagamaan dalam diskursus usul fikih teks-teks keagamaan (dalil) adalah sebuah media penalaran akal dalam menggali hukum-hukum syar’i namun hal ini tidak mungkin bisa dilepaskan dari kandungan makna substansial dari muatan teks tadi. Makna substansial inilah yang menjadikan manusia bisa merasakan kehadiran maslahat di dalam hukum-hukum partisial atau general syariat. Setidaknya ada 5 makna substansial yang erat kaitanya dengan pembentukan hukum-hukum syariat, imam Syihabuddin Al-Qorrofi dalam Al-Furuq menyatakan:
“kejumudan berfikir terhadap teks-teks keagamaan tanpa melibatkan pesan-pesan substansial syariat di dalamnya hanya akan
menimbulkan stigma negatif dalam beragama”.
2. Tidak adanya ketersinambungan yang erat dengan guru-guru dalam menalar ajaran agama
Talaqqi (sorogan) dalam pemahaman keilmuan seseorang dapat meminimalisir munculnya pemikiran-pemikiran liar dari para pelajar. Kesinambungan antar guru dengan murid dalam dunia keilmuan biasa disebut dengan “sanad” Imam Abdullah Ibnu Mubarok berkata:
لولا الاٍسناد لقال من شاء ما شاء
“Kalaulah sanad atau ketersinambungan dalam keilmuan itu tidak diperlukan niscaya, setiap manusia akan bebas menentukan kehendak dan tujuanya”.
Peran Pesantren Dalam Menolak Radikalisme
Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam dan penyangga utama syiar Islam di nusantara dalam perjalananya memiliki peranan yang cukup penting perjalanan Islam di nusantara tidak lepas dari peranan ulama-ulama pesantren sejak pra kemerdekaan hingga sekarang .
Pesantren tidak hanya berperan sebagai pusat kajian isalam. Tapi juga sebagai benteng Islam di nusantara.
Corak pendidikan dalam pesantren pun sangat mengedepankan moral ajaran Islam (tafaqquh fid din) sehingga pesantren tidak hanya mendidik para santrri dalam memahami turots (kitab kuning) melainkan melatih kader-kader muda yang mampu menghayati dan mengamalkan ajaran agama sesuai dengan tujuan Islam itu sendiri.
Ada beberapa karakteristik dalam tradisi pesantren :
1. Soan (silaturrahmi)
Dalam silaturrahmi terdapat dimensi
تحقيق الفطرة الاٍنسانيه (pengakuan rasa fitroh manusia sebagai makhluk sosial atau yang saling menghormati dan mengasihi).
من سرّه أن يسبطا له في رزقه اوينسأ له في أثره فليصل رحمه (روه بخاري)
“manusia yang menginginkan kebahagiaan dalam kehidupan, maka hendaknya selalu menyambung tali silaturohmi antar saudaranya”
2. Bathsul masail (dialog)
Ini adalah kunci dalam mengawali pemecahan kebekuan pihak yang berselisih.
3. Anjuran berjama’ah atau bergotong royong dalam segala aspek kehidupan
4. Pemahaman agama yang menyatu dengan kultur masyarakat.
5. Agama yang humanis pengajaran terhadap kaum muda non pesantren dan masyarakat
luas pada umumnya.
5. Pengajaran agama dengan konsep tradisional, seperti:Pemahaman dan pemaknaan kitab (ngapsahi) justru, dinilai sangat berperan dalam memberikan pemahaman agama yang benar dan memiliki ketersinambungan (sanad) dengan ulama-ulama yang arif dan bijaksana.
Penutup
Pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional memiliki posisi sentral dalam membentengi generasi-generasi muda dalam memahami ajaran agama. Pesantren memiliki ciri khas moderat (tawassuth) seimbang (tawazun) dan humanis (tayassur). Sehingga kader-kader yang mendapatkan pendidikan pesantren diharapkan bisa membawa misi agama Islam sebagai agama kedamaian bagi alam semesta.
*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Assalafie, Dosen Ma’had Aly Al Hikamussalafiyah (MAHS)
Pingback: Filantropis Santri, Why Not ? – Assalafie Babakan
Pingback: Pandangan Pesantren Terkait Literasi – Assalafie Babakan