Oleh : Ibnu Muzakky, Lc*
Substansi peradaban Islam itu ibarat pohon (sejarah) yang akarnya tertanam kuat di bumi, sedangkan dahan-dahannya menjulang tinggi ke langit dan memberi rahmat bagi alam semesta. Akar itu adalah teologi Islam (tauhid) yang berdimensi epistemologis integral, Lalu, berkembang menjadi budaya pengetahuan terhadap Al-quran sehingga lahir intelektual Islam. Dari budaya ini, kemudian terbentuklah komunitas sehingga melahirkan konsep keilmuan dan disiplin keilmuan Islam. Dari sini, lalu lahir sistem sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan Islam.
Mengapa Generasi Berpengetahuan?
Tidak ada satu generasi yang bangkit tanpa didahului oleh bangkitnya budaya pengetahuan. Tanpa terkecuali, peradaban Islam. Rasulullah saw telah memberikan teladan yang luar biasa dalam hal ini. Di tengah masyarakat jahiliyah gurun pasir, Rasulullah saw berhasil mewujudkan sebuah masyarakat yang sangat tinggi tradisi ilmunya. Bukan hanya itu, budaya pengetahuan Islam yang dibangun oleh Nabi Muhammad saw telah melahirkan manusia-manusia unggulan dalam satu ”generasi sahabi” yang belum mampu dicapai oleh peradaban manapun, hingga kini. Rasulullah saw berhasil mengubah ”masyarakat ummiy” yang hidup dalam tradisi lisan menjadi masyarakat yang cinta ilmu dan tradisi tulis. Tradisi ilmu Islam saat itu pun mampu mengubah masyarakat yang gila minuman keras menjadi masyarakat yang bersih dari ”tradisi teler” hanya dalam tempo beberapa tahun saja.
Islam memandang manusia sebagai makluk yang berbeda dengan ciptaan lainnya, karena sejak proses diciptakannya, manusia telah diberikan instuisi yang memiliki kemampuan untuk mendekatkan diri kepada tuhan, yang menuntun ke arah kebenaran, yang dengannya kita mampu melihat yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah dan yang palsu adalah palsu, yang memberikan neraca dan kriteria untuk menimbang dan mengukur, menilai dan memutuskan, memisah dan membedakan, mengeti dan menyadari. Dengan segala kemuliaan yang allah titipkan pada kita Semestinya dalam menjalankan kehidupan kita tidak melulu melihat sisi kemanusiaan kita, melainkan sisi ini harus ditundukkan dengan sisi penghambaan kita kepada tuhan sebagai bentuk rasa syukur atas segala yang telah diberikan.
Dimensi penghambaan inilah yang selayaknya kita bawa dan kita jadikan sebagai standar dalam menjalani kehidupan, sebagai barometer dalam melakukan penalaran, sebagai spirit yang menuntun kita dalam merumuskan kesimpulan, sebagai penentu keabsahan dalam menjalankan pembaruan, inilah framework muslim yang menjadikannya istimewa dan berbeda dari umat manusia lainnya.
Memang, peradaban yang dibangun oleh Islam adalah peradaban integrasi (tauhid), yang menyatukan unsur dunia dan akhirat, aspek jiwa dan raga. Islam bukan agama yang menganjurkan manusia untuk lari dari dunia demi tujuan mendekat kepada Tuhan. Nabi memerintahkan umatnya bekerja keras untuk menaklukkan dunia dan meletakkan dunia dalam genggamannya, bukan dalam hatinya. Nabi melarang keras sahabatnya yang berniat menjauhi wanita dan tidak menikah selamanya, agar bisa fokus kepada ibadah.
Berbeda dengan jalan pikiran banyak tokoh agama pada zaman itu, Nabi Muhammad saw justru mendeklarasikan: ”Nikah adalah sunnahku, dan siapa yang benci pada sunnahku, maka dia tidak termasuk golonganku.” Meskipun begitu, Rasulullah saw juga memperingatkan dengan keras: ”Jika umatku sudah mengagungkan dunia, maka akan dicabut kegemilangan Islam dari mereka.”. Inilah peradaban Islam: bukan peradaban yang memuja materi, tetapi bukan pula peradaban yang meninggalkan materi. Pada titik inilah, tradisi ilmu dalam Islam berbeda dengan tradisi ilmu dalam masyarakat Barat yang berusaha membuang agama dalam kehidupan mereka. Dalam tradisi keilmuan Islam, ilmuwan yang zalim dan jahat harus dikeluarkan dari daftar ulama. Dia masuk kategori fasik dan ucapannya pantas diragukan kebenarannya. Ilmu harus menyatu dengan amal.
Tradisi ilmu dalam Islam ini berbeda dengan tradisi ilmu dalam masyarakat Yunani, yang merupakan salah satu unsur penting peradaban Barat. Karena itu, tradisi ilmu yang dibangun Islam tidaklah sama dengan tradisi ilmu yang dibangun dalam peradaban sekular. Untuk membangun peradaban Islam, mau tidak mau harus dilakukan melalui proses pendidikan“ta’dib”. Tujuan utamanya, membentuk manusia yang beradab, Adab adalah disiplin rohani, akli, dan jasmani yang memungkinkan seseorang dan masyarakat mengenal dan meletakkan segala sesuatu pada tempatnya dengan tepat, sehingga menimbulkan keharmonisan dan keadilan dalam diri, masyarakat, dan lingkungannya. Seperti memuliakan yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda, memiliki etika mulia ketika bergaul dengan teman, bertemu dengan guru dan kyai, menjaga pandangan ketika berbicara, menjaga tangan ketika bekerja, yang mana Hasil tertinggi dari adab ialah mengenal Allah SWT sebagai realitas tertinggi dan ‘secara tepat dengan melakukan ibadah dan amal shaleh pada tahap ihsan.
Generasi Yang Beradab: Etika & Kriteria
Tunduk dan patuh adalah representasi dari nilai ibadah manusia, tunduk adalah ketaatan dalam beriman dan patuh adalah ketaatan dalam berislam, jika keduanya menyatu maka akan menghantarkan manusia pada tahap ihsan. Pandangan islam tidak pernah memisahkan antara iman, islam dan ihsan ketiganya merupakan kesatuan yang membentuk pengetahuan baik pengetahuan fisik maupun metafisik. Merunduk/menunduk aktivitas lahiriah manusia yang lebih didominasi faktor-faktor yang mengisyaratkan adanya kecemasan, ketakutan, sembunyi ataupun malu, seperti ucapan kita pada teman kita yang malu-malu ketika disuruh maju ke depan kelas, ‘’ayo! jangan menunduk terus’’ atau ucapan kita pada teman kita yang bersembunyi ketika bertemu seseorang yang ditakutinya ‘’kenapa merunduk?’’ berbeda dengan menundukkan kepalanya ketika ia bertemu dengan seseorang yang dihormatinya, atau menundukkan kepalanya ketika ia membaca award/adzkar, hal yang semacam ini tidak bisa dikatakan merunduk dengan arti yang memiliki konotasi negatif.
Namun, dalam perkembangan maknanya merunduk dikonotasikan dengan makna yang kurang baik, seperti generasi yang tidak terampil dan labil, generasi yang tidak mengadopsi integritas-integritas iman, bahkan merunduk diasumsikan sebagai generasi yang memiliki etos kerja main-main.
Generasi Yang Beradab ; Siapa Dan Bagaimana?
Siapa saja dapat menjadi manusia beradab asalkan ia memiliki ilmu (knowledge) yang benar. Karena itulah, suatu pendidikan Islam pasti akan gagal mewujudkan tujuannya jika dibangun di atas konsep ilmu yang salah: yakni ilmu yang tidak memberikan pemahaman yang benar terhadap wujud yang merupakan sumber dari segala pengetahuan, pengetahuan semacam ini yang pada akhirnya mengantarkan seseorang kepada ketaqwaan dan kebahagiaan.
Peradaban Islam memang peradaban terbuka, siap menerima unsur-unsur asing yang tidak bertentangan dengan pandangan hidup Islam (nadzhariyyat al-wujud fil-islam). Tetapi, peradaban Islam hanya bisa berdiri tegak di atas konsep pemikiran Islam (Islamic thought), dan diwujudkan oleh kaum Muslim sendiri.
Ini bukan mimpi! Ini Sabda Rasulullah saw: ”Ihrish ’alaa maa yanfa’uka, wa laa ta’jizan, wasta’in billah.” (Bersemangatlah meraih apa yang bermanfaat bagimu, dan jangan sekali-kali merasa lemah, dan mintalah pertolongan kepada Allah selalu). (HR Muslim).
*Penulis Adalah Alumni Assalafie,
Dosen Ma’had Aly Al-Hikamus Salafiyah