Pandangan Pesantren Terkait Literasi

Oleh : Sartika

Istilah literasi pada umumnya mengacu pada keterampilan membaca dan menulis, artinya seorang literat adalah orang yang telah menguasai keterampilan membaca dan menulis dalam suatu bahasa, namun demikian pada umumnya keterampilan membaca seseorang itu lebih baik daripada kemampuan menulis.

radikalisme dalam tinjauan pesantren

covid 19 bikin sakit tubuh dan moral

Menurut Kern, sebagaimana dikutip oleh Bahrul Hayat dan Suhendra Yusuf, literasi secara sempit didefinisikan sebagai kemampuan membaca dan menulis, termasuk didalamnya pembiasaan membaca dan mengapresiasi karya sastra serta melakukan penilaian terhadapnya. Sedangkan secara luas, Kern mendefinisikan literasi sebagai kemampuan untuk berpikir dan belajar seumur hidup untuk bertahan dalam lingkungan sosial dan budaya. Mc. Kern dan Robinson menyatakan bahwa literasi merupakan suatu media bagi individu agar mampu berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, terutama berkaitan dengan kemampuan menulis.

Sedangkan Pondok Pesantren sendiri merupakan sebuah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Kehadirannya telah memberikan pengaruh yang sangat penting bagi keberlangsungan hidup bangsa Indonesia khususnya umat Islam di Indonesia. Pondok pesantren telah melahirkan banyak tokoh yang tidak hanya disegani di dalam negeri saja tetapi juga di dunia internasional seperti Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Syeikh Yasin bin Isa Al-Fadani, Syeikh Nawawi Al-Bantani, Syeikh Mahfudhz At-Tirmasi, dan tokoh-tokoh lainnya yang kesemuanya itu adalah dididik di pondok pesantren. Ketokohan beliau-beliau selain karena ilmunya sangat luas juga karena mereka banyak menghasilkan karya, Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi dengan salah satu kitabnya Hasyiyah An-Nafahat ‘ala Syarhil Waraqat lii Mahalli, Syeikh Yasin Al-Fadani dengan salah satu kitabnya Jam’ul Jawami, Syeikh Nawawi Al-Bantani dengan salah satu kitabnya Tafsir Al-Munir, dan Syeikh Mahfudhz At-Tirmasi dengan salah satu kitabnya Al-Badru Al-Munir fi Qira’ati al-Imam Ibnu Katsir. Keberhasilan mereka untuk menghasilkan banyak karya disebabkan karena mereka sudah terbiasa untuk membaca dan menulis sehingga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam hidupnya atau dalam hal ini bisa kita sebut bahwa budaya literasi telah mengakar kuat dalam kehidupannya, terbukti juga dengan perhatian mereka terhadap kitab kuning karya para ulama Muslim.

Adapun asal-usul kata “Santri” menurut Nurcholis Madjid ada dua pendapat. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa “Santri” berasal dari perkataan “Sastri”, sebuah kata dari Bahasa Sangsekerta yang artinya melek huruf. Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa perkataan santri sesungguhnya berasal dari Bahasa Jawa, dari kata “Cantrik”, berarti seseorang yang selalu mengikuti seorang guru kemana guru pergi menetap.  Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pondok pesantren adalah tempat atau lembaga pendidikan Islam bagi para santri yang ingin belajar tentang Islam. Dari beberapa pengertian istilah di atas dapat disimpulkan bahwa budaya literasi pondok pesantren adalah proses pembiasaan membaca dan menulis di lingkungan pondok pesantren.

Selain mempelajari kitab kuning, metode literasi keilmuan di pesantren juga tidak kalah penting dimana metode tersebut menunjukkan perhatian besar mereka terhadap budaya literasi. Ada tiga metode klasik yang masih digunakan hingga kini, khususnya di pesantren-pesantren tradisional atau salaf. Metode tersebut, yaitu bandongan, sorogan, dan syawara.

  1. Bandongan berarti bersama-sama. Sekelompok santri, biasanya 5 sampai 50 orang, mendengarkan kiainya membaca, menerjemahkan, serta menerangkan kitab kuning dalam bahasa Arab. Cara penyampaian dan penerjemahannya mulai dari kata per kata, frasa per frasa, hingga kalimat secara utuh, agar santri paham arti dan fungsi kata dalam satu rangkaian kalimat. Kemudian tiap-tiap santri wajib membuat catatan, baik dalam bentuk arti secara harfiah maupun dengan keterangan. Tak jarang pula mereka menambahkan penjelasan tambahan dari hasil tafsirannya (syarh) dalam bahasa ibu masing-masing. Syarh inilah yang pada akhirnya melahirkan kitab-kitab baru.
  2. Sorogan berarti (menyodorkan atau menyetorkan) dan ini bersifat lebih privat dari pada bandongan. Seorang santri berhadapan langsung dengan kiai atau gurunya. Kiai akan membacakan terlebih dahulu ayat Al-Quran atau bab dari sebuah kitab, kemudian santri akan mengikutinya, bahkan wajib dihafalkan secara benar dan tepat. Materi baru akan berpindah jika santri tersebut sudah hafal di luar kepala. Hal itu tentu menuntut disiplin dan kesabaran pribadi seorang santri.
  3. Syawara atau musyawarah, Metode ini lebih menekankan hubungan antar santri. Setelah mengaji bersama kiai, baik secara bandongan maupun sorogan, para santri membentuk kelompok belajar untuk membahas materi yang sudah diajarkan. Tak jarang dalam sesi musyawarah ini muncul wacana segar tentang bahasan yang sedang dikaji dari kitab kuning. Melalui cara ini para santri dilatih untuk merumuskan ide, mengemukakan pendapat sendiri, dan menerima kritik orang lain.

kunjungan majalah aula ke pesantren assalafie

bedah majalah salafuna edisi ke 60

Patut diakui, hingga saat ini pesantren telah berhasil dalam perannya sebagai lembaga pendidikan yang melestarikan budaya dan tradisi literasi klasik Islam kepada santri-santrinya. Tradisi literasi keilmuan pesantren pada akhirnya melahirkan dua corak pemikiran utama.

Pertama, bersifat normatif-teologis, menggunakan keilmuan Islam untuk membendung dampak negatif dari modernisasi. Kedua, bersifat historis-kritis, melihat semua pandangan ulama yang lahir pada masanya sedikit-banyak mendapatkan pengaruh dari kondisi politik, ideologi, sosial-budaya, dan ekonomi yang berkembang kala itu.

Meski terkesan sangat bertolak belakang, tapi kedua corak ini sama-sama mampu menjadi wacana alternatif dari berbagai pemasalahan bangsa.

Penulias Adalah Alumni Assalafiat I Mahasiswa Ez-Zitouna Tunisia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *