COVID-19 Bikin Sakit Tubuh dan Moral!?

Oleh : Labib El-Muna*

Semenjak awal dekade ini, tepatnya Januari 2020, terdengar santer sebuah berita outbreak COVID-19 atau penularan besar-besaran yang terjadi di salah satu kota besar di Republik Rakyat China, Wuhan. Virus yang membawa wabah penyakit ini merupakan varian terbaru dari SARS yang sempat booming juga diawal 2000an. Bahkan nih ya, namanya sendiri itu saking barunya dinamain COVID-19 atau Corona Virus Disease, lalu 19 nya apaan? Ya karena terjadi di 2019 aja, as simple as that.

Epidemi SARS sendiri, kakak tertuanya, itu ditemukan di China ( lagi 😀 ) tahun 2003 di 26 negara dengan lebih dari 8000 di tahun itu dengan korban tewas 775! Lalu ada kakak keduanya kita sebut saja MERS, yang terjadi juga di tahun 2012an. MERS ini disebut juga flu unta, dan  tentu  penyebaran awalnya di timur tengah, karena disana disamping mobil-mobil mewah  di kalangan elitnya, orang masih banyak yang menggunakan unta sebagai alat transportasi. Jadi tertularlah mereka, kita paling tertular flu mamang-mamang ojek, heuheu.

Nah, adapun COVID-19 sendiri sampai saat ini sudah mencapai 60an negara yang dikabarkan warga negaranya ada yang tertular.  Sebelumnya ada Meksiko, Azerbaijan, Lithuania, dan Nigeria. Dan mengacu pada data dari johns Hopkins CSSE, total kasus si wabah baru ini secara global sudah mencapai 84.124 kasus, dengan laporan yang sehat kembali sebanyak 36.711. Namun jumlah korban yang meninggal sampai saat ini adalah 2.867 jiwa!

Bagaimana dengan tumpah darah kita tercinta kita, Negara Kesatuan Republik Indonesia? Dilansir dari The Guardian, bahwa Bapak Presiden kita yang terhormat mengumumkan tentang terjadi nya kasus Corona pertama di Indonesia, tepatnya di Jakarta. Ya, Ibu Kota yang baru saja terkena krisis banjir semenjak awal tahun kini diterpa ujian yang lain. 2 orang yang terjangkit ini adalah Ibu dan anak yang selidik punya selidik telah melakukan kontak dengan seorang warga Negara jepang yang menetap di Malaysia. Ibu  yang berusia 64 tahun dan putrinya yang berumur 31 melakukan kontak dengan WNA jepang ini dalam perjalanan singkatnya ke Indonesia. Sekembalinya ke Jepang, ternyata doi positif tertular COVID-19. Lalu ibu dan anak ini kemana? Lagi makan ramen di desa Konoha! Wkwkw ngga lah, mereka sedang dirawat intensif dan terpercaya di RS Sulianti Saroso.

Sebelumnya kasus ini, Indonesia masih dianggap bebas dari paparan COVID-19. Hal ini mencemaskan  beragam  pihak asing yang mencurigai ketidakmampuan pihak kita dalam mendeteksi virus ini.

Mereka beranggapan denga  jumlah 272 juta jiwa, luas wilayah yang aduhai besarnya, juga hubungan kita dengan China yang erat (dari segi investasi pak! Kalau segi yang lain Wallahu a’lam), dan kurang lebih 3% dari penduduk kita adalah Indonesia-china, menjadikan ketiadaan kasus merupakan hal yang mencurigakan. Bahkan ada study dari Harvard University yang mengatakan bahwa dengan tingkat air traffic  antara Wuhan dengan beberapa wilayah lain di asia tenggara (termasuk Indonesia) kasus yang terjadi ternyata lebih rendah dari prakiraan mereka.  Setelah itu, Mentri Kesehatan kita naik pitam dan bilang kalau penelitian ini adalah ‘penghinaan’.

Kabar dari beberapa artikel menyebutkan bahwa Indonesia belum terpapar Virus ini itu semata-mata karena reseptor dalam organ tubuh orang Indonesia, atau  melayu itu berbeda, dan tidak mudah tertular. Yang agak intellect sedikit bilang kalau suhu dan iklim di Indonesai yang tropis menekan perkembangan virus ini sehingga tidak bisa menular bahkan hidup lama diluar reservoir-nya (baca: inang).

Disisi lain yang seharusnya ngga harus, dari para netizen yang terhormat, menyeruak kabar burung yang mengatakan bahwa pemerintah menyembunyikan kasus dan korban di Indonesia dengan tujuan menjaga stabilitas, baik politik, sosial dan tentu ekonomi.

Meski begitu ternyata dengan rendahnya laporan mengenai kasus ini di Indonesia saja kita sudah dihadapkan dengan berbagai macam  musibah dan cobaan. Dari yang nampak yaitu menurun dan terhambatnya perkembangan nasional dari berbagai sisi. Yang tentu merupakan resiko yang harus ditempuh jika tidak ingin korban jiwa bertambah dalam kasus ini, baik di Indonesia maupun di dunia. Sampai musibah yang tidak nampak, apa itu?

Kita dihadapkan pada musibah akhlaq dan moral, dari data-data diatas, kita melihat bagaimana respon kita menghadapi musibah global ini. Dari petinggi elit, sampai rakyat kecil di medsos bernama ‘netizen’. Beberapa oknum Petinggi elit perusahaan di negeri ini ada yang malah nyinyir dan mengeluh atas lesunya perkembangan usaha mereka, taruhlah salah satu perusahaan di Jakarta yang gedungnya ditutup karena ada yang dicurigai terjangkit Corona. Saat di periksa dan ternyata hasilnya negatif, doi malah ngeluh karena kerugian yang dideritanya karena kantornya ditutup. Wahai alangkah rakusnya, setidaknya bersyukurlah tidak ada yang positif dan seluruh kantor tertular.

Lalu netizen yang dengan marah dan penuh kecurigaan menuduh pemerintah menutupi kasus Corona di Indonesia. Lihat betapa suudzann-nya kita dengan orang lain. Para pedagang pun sekarang dengan memanfaatkan krisis global ini banyak yang dengan sengaca berbuat curang, yaitu menimbung masker dan lalu menjualnya dengan harga yang fantastis! Cerdik ssih, tapi itu ya licik. Dimana akhlaq dan moralnya? Meraup keuntungan diatas krisis orang lain. Begitupun elit kenapa tidak bertindak bijaksana dihadapan wabah global ini dengan menenangkan dengan cara yang halus dan terus bekerja dengan sungguh-sungguh, menciduk dan menegur yang mengambil keuntungan illegal, sambil mendengarkan suara rakyat yang dalam konteks ini juga sedang dilanda kecemasan.

Semenjak awal dekade ini, tepatnya Januari 2020, terdengar santer sebuah berita outbreak COVID-19 atau penularan besar-besaran yang terjadi di salah satu kota besar di Republik Rakyat China, Wuhan. Virus yang membawa wabah penyakit ini merupakan varian terbaru dari SARS yang sempat booming juga diawal 2000an. Bahkan nih ya, namanya sendiri itu saking barunya dinamain COVID-19 atau Corona Virus Disease, lalu 19 nya apaan? Ya karena terjadi di 2019 aja, as simple as that.

Epidemi SARS sendiri, kakak tertuanya, itu ditemukan di China ( lagi 😀 ) tahun 2003 di 26 negara dengan lebih dari 8000 di tahun itu dengan korban tewas 775! Lalu ada kakak keduanya kita sebut saja MERS, yang terjadi juga di tahun 2012an. MERS ini disebut juga flu unta, dan  tentu  penyebaran awalnya di timur tengah, karena disana disamping mobil-mobil mewah  di kalangan elitnya, orang masih banyak yang menggunakan unta sebagai alat transportasi. Jadi tertularlah mereka, kita paling tertular flu mamang-mamang ojek, heuheu.

Nah, adapun COVID-19 sendiri sampai saat ini sudah mencapai 60an negara yang dikabarkan warga negaranya ada yang tertular.  Sebelumnya ada Meksiko, Azerbaijan, Lithuania, dan Nigeria. Dan mengacu pada data dari johns Hopkins CSSE, total kasus si wabah baru ini secara global sudah mencapai 84.124 kasus, dengan laporan yang sehat kembali sebanyak 36.711. Namun jumlah korban yang meninggal sampai saat ini adalah 2.867 jiwa!

Bagaimana dengan tumpah darah kita tercinta kita, Negara Kesatuan Republik Indonesia? Dilansir dari The Guardian, bahwa Bapak Presiden kita yang terhormat mengumumkan tentang terjadi nya kasus Corona pertama di Indonesia, tepatnya di Jakarta. Ya, Ibu Kota yang baru saja terkena krisis banjir semenjak awal tahun kini diterpa ujian yang lain. 2 orang yang terjangkit ini adalah Ibu dan anak yang selidik punya selidik telah melakukan kontak dengan seorang warga Negara jepang yang menetap di Malaysia. Ibu  yang berusia 64 tahun dan putrinya yang berumur 31 melakukan kontak dengan WNA jepang ini dalam perjalanan singkatnya ke Indonesia. Sekembalinya ke Jepang, ternyata doi positif tertular COVID-19. Lalu ibu dan anak ini kemana? Lagi makan ramen di desa Konoha! Wkwkw ngga lah, mereka sedang dirawat intensif dan terpercaya di RS Sulianti Saroso.

Sebelumnya kasus ini, Indonesia masih dianggap bebas dari paparan COVID-19. Hal ini mencemaskan  beragam  pihak asing yang mencurigai ketidakmampuan pihak kita dalam mendeteksi virus ini. Mereka beranggapan denga  jumlah 272 juta jiwa, luas wilayah yang aduhai besarnya, juga hubungan kita dengan China yang erat (dari segi investasi pak! Kalau segi yang lain Wallahu a’lam), dan kurang lebih 3% dari penduduk kita adalah Indonesia-china, menjadikan ketiadaan kasus merupakan hal yang mencurigakan. Bahkan ada study dari Harvard University yang mengatakan bahwa dengan tingkat air traffic  antara Wuhan dengan beberapa wilayah lain di asia tenggara (termasuk Indonesia) kasus yang terjadi ternyata lebih rendah dari prakiraan mereka.  Setelah itu, Mentri Kesehatan kita naik pitam dan bilang kalau penelitian ini adalah ‘penghinaan’.

Kabar dari beberapa artikel menyebutkan bahwa Indonesia belum terpapar Virus ini itu semata-mata karena reseptor dalam organ tubuh orang Indonesia, atau  melayu itu berbeda, dan tidak mudah tertular. Yang agak intellect sedikit bilang kalau suhu dan iklim di Indonesai yang tropis menekan perkembangan virus ini sehingga tidak bisa menular bahkan hidup lama diluar reservoir-nya (baca: inang).

Disisi lain yang seharusnya ngga harus, dari para netizen yang terhormat, menyeruak kabar burung yang mengatakan bahwa pemerintah menyembunyikan kasus dan korban di Indonesia dengan tujuan menjaga stabilitas, baik politik, sosial dan tentu ekonomi.

Meski begitu ternyata dengan rendahnya laporan mengenai kasus ini di Indonesia saja kita sudah dihadapkan dengan berbagai macam  musibah dan cobaan. Dari yang nampak yaitu menurun dan terhambatnya perkembangan nasional dari berbagai sisi. Yang tentu merupakan resiko yang harus ditempuh jika tidak ingin korban jiwa bertambah dalam kasus ini, baik di Indonesia maupun di dunia. Sampai musibah yang tidak nampak, apa itu?

Kita dihadapkan pada musibah akhlaq dan moral, dari data-data diatas, kita melihat bagaimana respon kita menghadapi musibah global ini. Dari petinggi elit, sampai rakyat kecil di medsos bernama ‘netizen’. Beberapa oknum Petinggi elit perusahaan di negeri ini ada yang malah nyinyir dan mengeluh atas lesunya perkembangan usaha mereka, taruhlah salah satu perusahaan di Jakarta yang gedungnya ditutup karena ada yang dicurigai terjangkit Corona. Saat di periksa dan ternyata hasilnya negatif, doi malah ngeluh karena kerugian yang dideritanya karena kantornya ditutup. Wahai alangkah rakusnya, setidaknya bersyukurlah tidak ada yang positif dan seluruh kantor tertular.

Lalu netizen yang dengan marah dan penuh kecurigaan menuduh pemerintah menutupi kasus Corona di Indonesia. Lihat betapa suudzann-nya kita dengan orang lain. Para pedagang pun sekarang dengan memanfaatkan krisis global ini banyak yang dengan sengaca berbuat curang, yaitu menimbung masker dan lalu menjualnya dengan harga yang fantastis! Cerdik ssih, tapi itu ya licik. Dimana akhlaq dan moralnya? Meraup keuntungan diatas krisis orang lain. Begitupun elit kenapa tidak bertindak bijaksana dihadapan wabah global ini dengan menenangkan dengan cara yang halus dan terus bekerja dengan sungguh-sungguh, menciduk dan menegur yang mengambil keuntungan illegal, sambil mendengarkan suara rakyat yang dalam konteks ini juga sedang dilanda kecemasan.

Ala kulli hal, tugas kita sebagai agen perubahan adalah menyampaikan kebenaran dengan cara yang paling elegan. Santri yang memiliki kedewasaaan berfikir tentu ngga akan membuat panik masyarakat sekitar, tapi sebaliknya akan mengedukasi dengan pentingnya hidup sehat dan bersih, annadzhofatu minal iman. Lalu bahwa usaha saja tidaklah cukup, doa semacam shalawat thibbil qulub juga perlu digencarkan dan disebarkan di berbagai lingkaran pergaulan sehingga kita bukan menjadi virus, tapi kita adalah antivirus dan vaksin bagi masyarakat luas. Terutama dari virus degradasi moral.

Diantara yang paling berbahaya dari virus moral pada hati manusia Indonesia adalah bagaimana kita dengan mudah menerima, mempercayai lalu menyebarkan  sebuah informasi yang entah bersumber dari mana, atau lebih jauh yang entah dasar argumentasinya apa. Dengan adanya perkembangan luar biasa dari teknologi dan informasi, kita dihadapkan dengan mudahnya mendapatkan pengetahuan dan informasi melalui laman-laman online yang dengan kecepatan, keterjangkauan dan kemudahan yang berbeda jauh dari sebelum adanya internet. Bagaikan pedang bermatadua, hal itu juga berdampak dari konten yang dibawa internet belum tentu 100% valid dan benar. Maka seperti quote yang berlalu-lalang di meme bahwa :

“Hoax dibuat oleh orang pintar tapi jahat, disebarkan oleh orang bodoh dan jahat, dan dipercayai orang bodoh saja.”

Apa kita percaya quote diatas? Jangan lah, apapun yang kita atau orang terdekat lihat di internet termasuk quote diatas, segera kita konfirmasi kebenarannya, melalui apa? Ya perbanyak baca, perbanyak ngaji, perbanyak diskusi, maennya di jauhin, kopinya dikentelin, heuheu..

Sejalan dengan hal itu, al quran sudah memperingati kita melalui ayat nya yang masyhur dan dikenal yang artinya kurang lebih, jika dating kepada kalian seorang fasiq dengan membawa sebuah berita, maka tabayun lah. Pemahaman awal adalah kita jangan langsung percaya akan sebuah informasi yang dibawa seseorang, namun jika kita telaah lebih jauh, ternyata ada makna lain yang menurut penulis bisa menjadi pegangan di era digital ini. Jika seorang fasiq datang dengan berita, maka janganlah kita tolak (ataupun terima) seutuhnya karena kefasiqannya, tapi tabayun lah terlebih dahulu, pun jika orang yang saleh membawa berita, maka janganlah kita terima (ataupun tolak) seutuhnya karena kesalehannya. Intinya adalah seperti yang sebuah riwayat katakan, انظر ما قال ولا تنظر من قال.

Namun ini semua hanya sebatas pandangan penulis yang masih sangat dangkal, mari kita perdalam bacaan kita dan musyawarah di kelas madrasah mengenai hal-hal ini. Dan kembali dengan  ilmu pengetahuan kita akan bisa menjadi antivirus bagi agama, bangsa dan Negara. Wallahu A’lam

 *Penulis Adalah Alumni Assalafie 2013,Mahasiswa Pasca Sarjana Di Ezzitouna University Tunisia

1 Komentar

  1. Pingback: Pandangan Pesantren Terkait Literasi – Assalafie Babakan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *