ERA 4.0

Oleh : KH. Abdul Muiz Syaerozie, M.H.I*

Kita hidup di era, yang sering disebut orang,  era industri 4.0. Di era ini, kita benar-benar dibikin manja. Betapa tidak. Di era yang mengkolaborasikan tehnologi Cyber dan teknologi otomatisasi ini, berbagai kebutuhan termasuk Ilmu pengetahuan dan informasi dengan mudah dan cepat dapat kita di peroleh. Kita tidak perlu lagi menggelontorkan biaya yang tinggi dan menyisihkan waktu dalam durasi yang lama. Di era ini, hanya beberapa detik dan menit saja, ilmu pengetahuan dapat kita peroleh. 

Di era yang serba instan ini pula, Kita tidak perlu lagi menunggu kedatangan seorang guru, dosen atau kyai diruangan kelas atau serambi masjid dan musholla. Kita cukup duduk di dalam kamar, mendownload aplikasi ruang guru misalnya, atau mendownload aplikasi ustad, ilmu pengetahuan dan informasi berbagai peristiwa di belahan dunia degan mudah dapat kita akses.

Bahkan, konsep-konsep akademik yang “menggoda” akal pikiran kita, sudah di sediakan jawabnnya secara komprehensif dan sistematis dalam perangkat teknologi canggih. Melalui teknologi canggih kita dapat dengan cepat utuk mempelajari tentang ilmu pengetahuan. Sungguh.Kita benar-benar dibikin manja. Siapapun, termasuk kita masyarakat santri tidak mungkin meghindari kenyataan ini. Di satu sisi, kita harus mampu menimilasir dampak buruk revolusi industri yang menggilas tatanan nilai budaya yang telah lama tertanam dalam diri masyarakat santri. “Al Mukhafadzotu ‘ala qoimi As-Shalih” Disisi yang lain, kita juga harus pandai memanfaatkan perkembangan tehnologi yang makin canggih dengan sikap yang arif.“Al Akhdzu bil Jadiedil As-lakh”.

Sikap ini harus mucul pada diri seorang santri. Lataran kita meyakini bahwa secanggih apapun perkembangan tehnologi yang di ciptakan oleh manusia, ia tetap saja tidak mampu menyajikan nilai-nilai luhur diluar kemampuan teknologi. Sebut saja misalnya soal barokah. Nilai ini tidak mungkin diwujudkan oleh perkembangan teknologi, sebab barokah tidak hanya mengandalkan logika dan kretifitas skill semata, melainkan juga melibatkan proses spiritual.

Kita sering medengar cerita tentang seorang santri yang malas di pesantren, tetapi tekad khidmahnya pada Kiai begitu besar. Begitu kembali ketengah masyarakatnya, ia menjadi seorang tokoh yang terpandang. Ini barokah namanya. Secara logis harusnya dia menjadi santri yang bodoh dan tak mampu berkiprah ditengah masyarakat. Tetapi barokah merubah nasibnya seratus delapan puluh derajat. Ia manjadi manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya. “Anfa’uhumlinnas”. Ini tak bisa di wujudkan oleh kecanggihan teknologi.

Banyak sekali nilai-nilai yang hidup di lingkungan pesantren yang tak mampu dijawab oleh kecanggihan teknologi. Inilah keunggulan pesantren hingga di era yang serba modern, pesantren menjadi sesuatu yang memilki daya pikat tersendiri.

       *Dewan Keluarga Pondok Pesantren Assalafie /  Ketua PC. ISNU Kabupaten Cirebon

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *