Oleh : KH. Ahmad Mufid Dahlan, S.Kom.I.*
Pesantren merupakan salah satu pilar pendidikam tradisional yang sejarahnya telah mengakar selama berabad-abad. Pesantren adalah suatu kehidupan yang unik sebagaimana kata KH. Abdurrahman Wahid atau biasa disapa dengan Gus Dur. Beliau mengatakan bahwa pesantren sebagai suatu bagian dari kultur masyarakat yang memiliki karakter, watak, dan tradisi tersendiri yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya.
Pesantren bisa disebut sebagai subkultural karena memiliki keunikan tersendiri. Subkultural sendiri lahir dan berkembang seiring dengan derap langkah perubahan perubahan yang ada dalam masyarakat global. Perubahan-perubahan yang terus bergulir itu, cepat atau lambat pasti akan mengimbas pada komunitas pesantren sebagai bagian dari masyarakat dunia.
Seperti pada ahir-ahir ini pesantren harus siap menghadapi tantangan di era digital yang mana dalam hal ini ilmu pengetahuan dengan mudah dicari di internet seperti kitab kuning karya ulama salaf. Semua ini pasti ada sisi positif dan negatifnya. Dari sisi positifnya santri bisa mengakses semua kitab kitab kuning di internet tanpa bersusah payah mencarinya di pasaran, namun kelemahan dari adanya digitalisasi ini, santri dibuat malas untuk mencari referensi- referensi dari kiitab kuning, dengan dalih bahwa semuanya sudah ada dan bisa diakses melalui internet. Terlebih berimbas pada kegiatan santri yang biasa dikenal dengan “memaknai kitab” dan dalam hal ini juga sanad keilmuan tidak jelas karena sumbernya tidak ada, biasanya kalau dipesantren langsung mengaji dan bertatap muka dengan Kyai. Dan dengan adanya sisi positif dan negatif dari dampak digitalisasi, santri harus bisa memilah dan memilih mana yang baik mana yang buruk, karena bagaimana pun juga kita tidak bisa menolak kehadiran dari digitalisasi ini karena semata-mata bagian dari sunnatullah.
Jadi pada intinya apapun yang terjadi pada saat ini kita harus pintar-pintar dalam menyikapi perubahan yang terjadi tanpa mengurangi nilai-nilai kepesantrenan karena pada dasarnya pesantren hadir karena beberapa alasan.
Pertama, pesantren dilahirkan untuk memberikan respon terhadap situasi dan kondisi suatu masyarakat yang telah dihadapkan pada runtuhnya secara perlahan moralitasnya, melalui transformasi nilai yang ditawarkan (amar maruf nahi munkar) kehadirannya dengan demikian bisa disebut sebagai agen perubahan sosial yang selalu melakukan kerja-kerja pembebasan pada masyarakat dari keburukan moral. Kedua, salah satu misi awal didirikannya pesantren adalah menyebarluaskan informasi ajaran tentang universalitas islam keseluruh pelosok nusantara yang berwatak plural, baik dari dimensi kepercayaannya, budaya maupun kondisi sosial masyarakat melalui media pendidikan yang dikembangkan oleh para wali dalam bentuk Sistem Pendidikan Pesantren. Hal ini kemudian membuat ajaran islam lebih cepat membumi di Indonesia ini.
Di samping itu semua, salah satu tujuan pendidikan pesantren adalah untuk meninggikan moral, melatih dan mempertinggi semangat,
menghargai nilai-nilai spiritual kemanusiaan, mengajarkan sikap tingkah laku yang jujur dan bermoral serta mempersiapkan para santri untuk hidup sederhana dan berhati bersih.
Jadi berkaitan tentang bagaimana cara kita menyikapi perubahan di era digital yaitu dengan cara mengawal perubahan tersebut ke arah yang lebih baik bukan malah ke arah yang lebih buruk dengan kata lain harus bijak dalam menilai berbagai macam perubahan, tentunya untuk mencapai itu semua kita harus giat belajar serta mengamalkan nilai-nilai kepesantrenan. Dengan itu semua maka kita tidak akan kehilangan identitas kita sebagai santri yang benar- benar menjunjung tinggi Akhlaqul Karimah. Walaupun nilai-nilai kehidupan sudah mulai luntur dan hancur.
*Penulis adalah Dewan Keluarga Pon-Pest Assalafie, Kepala Madrasah Tingkat Tsanawiyah dan Aliyah MHSP.