Reoptimalisasi Budaya Literasi Santri dan Pesantren

Oleh : KH. Abdul Muiz Syaerozie

Membaca dan menulis bukanlah sesuatu yang asing dalam dunia pendidikan Pesantren. Dulu di Pesantren, para santri diajarkan bagaimana memiliki kemampuan, kebiasaan, dan kegemaran untuk membaca dan menulis. Banyak tokoh ulama jebolan pesantren masa lalu yang memiliki keluasan pengetahuan agama dari hasil kreasi membaca dan menyampaikannya ke khalayak publik melalui karya-karya tulis yang dirumuskannya.

Sebut saja misalnya pendiri Pondok Pesantren Assalafie Babakan Ciwaringin Cirebon, KH. Syaerozie dikenal sebagai alumni Pesantren yang memiliki kemampuan dan kegemaran membaca buku-buku atau kitab berbahasa arab, dan juga sekaligus memiliki kemapuan menulis gagasannya dengan menggunakan bahasa pegon maupun arab. Singkatnya, KH Syaerozie selain mempunyai kemampuan agama yang luas, juga mempunyai kemampuan menulis hingga mewariskan karya-karya tulis terkait ilmu-ilmu pengetahuan agama.

Inilah gambaran mayoritas ulama lalu produk Pondok Pesantren, mereka hidup di lingkungan pendidikan klasik atau tradisional yang diwarnai dengan budaya literasi. Namun belakangan Pesantren justru menonjolkan budaya orasi ketimbang budaya literasi. Santri memiliki kegemaran membaca namun tidak imbang dengan kemampuan dan kebiasaan dalam menulis. Santri lebih sering ditekankan untuk sering membaca tetapi jarang para santri di tuntut untuk mahir dalam menulis. Mereka lebih dituntut untuk memiliki kemampuan atau kemahiran dalam pulic speaking (orasi / pidato / ceramah) dalam menyampaikan gagasan hasil kreasi membacanya.

Akibatnya, alumnus-alumnus pesantren belakangan ini tidak banyak meninggalkan karya intelektual hingga bisa dinikmati oleh para generasi berikutnya. Padahal, penguasaan literasi yakni kemampuan seseorang dalam membaca dan menulis merupakan indikator penting untuk meninggatkan prestasi generasi muda dalam mencapai kesuksesan.

Budaya literasi sangat bermanfaat dalam mewujudkan peran generasi muda dalam aspek pembangunan Negara. Oleh karena itu, mengoptimalkan kembali budaya literasi yang pernah tertanam dalam dunia pesantren dalam aspek pembangunan Negara kedepan masih tetap di rasakan cukup tinggi.

Bukankah Allah berfirman dalam surat Al `Alaq :

اِقْرَأْ بِسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَ, خَلَقَ الْأِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ, اِقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ, الَّذِيْ عَلَمَ بِالْقَلَمِ, عَلَّمَ الْأِنْسَانَ مَالَمْ يَعْلَم

Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan tuhanmu yang mulia, yang telah mengajarkan dengan qalam.

Kata “Iqla” dan “ALqalam” dalam ayat surat Al alaq tersebut, paling tidak dapat dijadikan sebagai dalil naqli (dalil teks) bagi kita akan pentingnya budaya literasi.

Wallahu’alam bissawab…

 

1 Komentar

  1. Pingback: Kesetaraan Gender dalam Kehidupan Ekonomi Keluarga – Assalafie Babakan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *