Virus Hoax Tantangan Generasi Pesantren

Oleh : KH. Aziz Hakim Syaerozie, S.Fil*

Arus modernisasi (ashriyah) yang salah satunya ditandai dengan perkembangan pesat teknologi infomasi, tidak saja memberikan dampak manfaat terhadap dunia pendidikan pesantren saat ini. Era Digital, setidaknya memudahkan orang berinteraksi. Bisa dibayangkan, dahulu ketika orang tua memondokkan anaknya jauh dari tanah kelahiran apalagi ke negeri seberang, untuk bertatap muka, harus meluangkan waktu dan biaya tidak sedikit. Kini, era digital, orang sangat mudah berinteraksi, sekali pencet tombol melalui gadget, dengan biaya murah, santri dan wali santri begitu mudah berkomunikasi baik tulisan, oral, visual, maupun audio-visual. Bahkan, banyak layanan aplikasi untuk jenis komunikasi dan media sosial yang memberikan kemudahan-kemudahan dengan biaya gratis, misalnya Whatsapp (WA), Facebook dan lainnya.

Namun demikian, era digital dengan ditandai munculnya jenis media sosial di dunia maya yang marak, justru menjadi ancaman baru bagi generasi pesantren. Semua jenis informasi menjadi sangat terbuka, paham-paham di luar ideologi pesantren, dan bahkan berita-berita yang tidak jelas sumbernya makin benderang untuk diakses. Hal ini membutuhkan kajian sendiri bagaimana sesungguhnya menyelamatkan generasi pesantren di era digital ini agar tidak menjadi korban bagi kepentingan tertentu akibat meluasnya komunkasi dan informasi di dunia maya.

Salah satu yang mengkhawatirkan dan menjadi hal menakutkan bagi mental generasi pesantren masa depan adalah mudahnya akses informasi masyarakat terhadap cara-cara kelompok untuk menggiring opini,pandangan, pendapat, bahkan ideologi, sehingga mental generasi kita terancam oleh bentukan media sosial di dunia maya. Apalagi, era digital, banyak dimanfaatkan kelompok kepentingan baik politik, kekuasaan maupun rasis terhadap agama, untuk memproduksi berita-berita bohong dan berita-berita provokatif yang tidak mememiliki sumber dan fakta yang jelas, semata untuk tujuan menghasut, mengadu domba demi kekuasaan, politik dan atau bahkan mendoktrin untuk kepentingan pemahaman ajaran-ajaran agama

yang sesat. Jenis informasi semacam ini dalam istilah populer Indonesia dinamakan hoax.  Istilah ini sebenarnya berasal dari filsuf berkebangsaan inggris, Robert Nares, yang menyebut kebohongan dan penipuan dengan istilah hocus (menipu). Istilah hoax makin populer ketika ada film berjudul The Hoax yang dibintangi Richard Gere tahun 2006 lalu.  Karena kepopuleran film ini, akhirnya banyak orang yang kemudian latah menggunakannya untuk menggambarkan suatu kebohongan. Istilah ini pun hari ini menjadi populer dan menyebar ke seluruh belahan bumi, termasuk Indonesia.

Dalam sejarah Islam, hoax identik dengan hadist al-ifki (berita bohong) yang sempat terjadi di masa Rasulullah SAW. Fitnah dan cerita dusta itu bukan barang baru.  Rasulullah pernah mendapatkan finah keji sejenis Hoax.

Berita bohong ini berawal dari satu peristiwa, saat perjalanan kembali dari peperangan melawan Bani Mustoliq, Nabi, para sahabat dan kebetulan istri Rasulullah, Aisyah RA juga ikut dalam rombongan, berhenti pada suatu tempat. Aisyah keluar dari sekedupnya untuk suatu keperluan, kemudian kembali. Tiba-tiba dia merasa kalungnya hilang, lalu dia pergi lagi mencarinya.

Sementara itu, rombongan berangkat dengan asumsi Aisyah RA masih ada dalam sekedup.

             Setelah Aisyah mengetahui bahwa sekedupnya sudah berangkat, dia duduk di tempatnya dan mengharapkan sekedup itu akan kembali menjemputnya. Kebetulan, lewat di tempat itu seorang sahabat Nabi, Shafwan bin Mu’aththal. Oleh Beliau, Aisyah RA dipersilahkan mengendarai untanya. Syafwan berjalan menuntun unta sampai mereka tiba di Madinah. Orang-orang yang melihat kejadian ini membincangkan serius terutama mereka dari kelimpok munafiqien. Kaum munafik justru memproduksi kejadian ini dengan menyebarkan fitnah ‘drama selingkuh’ kepada halayak ramai. Berita ini meluas dan sempat menjadi viral sehingga menimbulkan kegoncangan di kalangan kaum Muslimin, bahkan keluarga Rasulullah itu sendiri.

Sebulan lebih fitnah itu menyebar sehingga kehidupan rumah tangga Nabi dan Aisyah cukup terganggu. Sampai akhirnya Allah menyelamatkan Aisyah dari fitnah itu dengan menurunkan wahyu:

Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu, bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar,” (QS An-Nur: ayat 11-12).

Hoax yang menyebabkan fitnah besar setelah masa Rasulullah SAW terjadi juga di era Khulafaur Rasyidin.

Khilafah Usman Ibn Affan dibunuh hanya karena beredarnya berita hoax terkait dengan informasi bahwa khalifah melakukan praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme, sehingga dianggap melenceng dari titah kenabiaan. Para umat muslim yang tidak melakukan penelitian sempurna atas berita tersebut, lalu termakan isu dan dampaknya, sahabat Usman meninggal karena dibunuh oleh Al-Ghafiqi, seorang muslim yang bahkan penghafal Al-Qur’an (al-hafidz) hanya karena informasi yang  keliru.

Hoax, di era milenial ini malah makin menjadi senjata penting, karena mudahnya menyebarkan informasi secara cepat akibat teknologi digital dan perkembangan media sosial di dunia maya. Oleh karena itu, setidaknya perlu menyikapi teknologi informasi ini dengan cara mengajarkan kepada para santri tentang cara-cara menghadapi informasi. Bahkan, terhadap teknologi informasi kita justru jauh lebih penting untuk mengelola asas manfaatnya. Setidaknya, para santri perlu dilatih agar mampu berdakwah melalui media sosial dengan cara lebih banyak belajar memproduksi tulisan-tulisan yang bermanfaat bagi masyarakat luas.

Terkait dengan hoax, sesungguhnya di lingkungan pendidikan pesantren sudah jauh diajarkan

tentang parameter-parameter suatu kebenaran informasi. Dalam kaidah Usul Fiqh misalnya, Imam Tajudin As-Subki setidaknya merumuskan lima ciri khusus untuk memastikan bahwa suatu berita wajib ditolak kebenarannya, dan dipastikan berita itu bagian dari hoax (kidzb).

             Pertama, Al-manqul ahadan ma’a tawaffuri al-dawa’i ila naqlihi adanya informasi yang tidak ditemui satupun sumber lain yang menjelaskan berita tersebut. Umumnya jenis model hoax ini disebarkan oleh kelompok tertentu secara besar-besaran dengan bentuk, kata-kata yang sama, sehingga menjadi viral dan seolah benar adanya. Ciri-ciri produksi hoax seperti ini, dikirim oleh satu orang kemudian dikopi dan di-share secara berantai ke banyak orang, sehingga menjadi viral.

Kedua, alma’lum khilafuhu dlaruriyyan, suatu informasi yang bertentangan dengan logika agama, sumber-sumber kesepakatan ahli dan ulama. Umumnya berita hoax seperti ini sengaja diproduksi untuk kepentingan popularitas seseorang atau menghancurkan sendi-sendi kehidupan agama Islam.

Contoh simpelnya; ada berita yang menyatakan ada seorang yang kuat dan diyakini tidak akan meninggal dunia.

Ketiga, al-ma’lum khilafuhu istidlalan, suatu informasi yang jika diteliti, dicari-cari dasar logikanya, sumber pengetahuannya tidak ditemukan, maka berita tesebut dipastikan hoax. Perumpamaan sederhananya adalah sumber berita tentang orang yang terseret ombak laut menghilang dan beberapa tahun kemudian ditemukan di lokasi

yang sama (berita heboh di ditemukan wanita yang dikabarkan tergulung ombak satu tahun silam di Pelabuhan Ratu dan ditemukan dalam kondisi hidup di lokasi yang sama pada saat hilang, Juni 2018). Faktanya, setelah ditelusuri oleh pihak berwajib, motif informasi ini, fakta membuktikan bahwa ada aktor yang sengaja menyembunyikan perempuan tersebut lalu dikabarkan hilang digulung ombak hanya karena persoalan terlilit hutang.

Keempat, khabaru mudda’i al-nubuwwah wal-risalah, adanya informasi tentang seseorang mengaku sebagai nabi dan rosul lalu memproduksi berita-berita kenabian.  Jika ada fenomena seperti ini, dipastikan berita itu hoax.

Kelima, ma nuqiba anhu walam yujad inda ahlih, sesuatu yang dibincangkan setelah diklarifikasi tidak ditemukan informasi kebenarannya. Metoda ini, sekaligus menegaskan pentingnya tabayun, klarifikasi dan mencari sumber informasi kepada pihak-pihak terpecaya.

             Dalam dunia sekarang ini, suatu kejadian mudah sekali dikonfirmasi kebenarannya, bila ada suatu hal yang menghebohkan tetapi tidak dimuat satupun dalam berita media yang populer dan dipercaya, maka berita tersebut pasti bohong (hoax). Contoh sederhananya adalah pembunuhan di suatu tempat dengan hanya mengirimkan gambar dan berita di media sosial, sementara tidak ada satupun media terpercaya yang memberitakan hal tersebut.

Singkatnya, paradigma Usul Fiqh dalam memilah suatu informasi, sangat lengkap diuraikan dalam tiap kajiannya, saya kira, santri tidak perlu gagap menghadapi hebohnya hoax, menjadi santri cerdas cukup mengimplentasikan keilmuan pesantren yang dimilikinya. Wallahu ‘alam bi al-shawab.  

Penulis adalah Dewan Keluarga Pon-Pest Assalafie, Ketua Tanfidziah PCNU Kabupaten Cirebon.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *